Assalaamu 'Alaikum Warahmatullah wa Barakaatuh

Indeks Artikel Terbaru

Selasa, 21 Desember 2010

Mengupas Tradisi Pembacaan Al-Barzanji

Di samping tadisi-tradisi bersifat lokal, keseharian masyarakat kita diwarnai pula oleh tradisi-tradisi yang merupakan bentuk ekspresi dari penghayatan ajaran agama mayoritas, agama Islam. Salah satunya adalah tradisi pembacaan Al Barzanji atau syair tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, sang pembawa risalah agama tersebut. Tradisi ini menarik untuk diperbincangkan, dikupas lebih dalam karena meski kaum muslim telah rutin melakukannya hampir pada setiap moment penting seperti pengajian, syukuran pernikahan, kelahiran anak, menjelang keberangkatan haji dan sebagainya, di kalangan ulama masih terus terjadi perbedaan pendapat menyangkut keabsahannya sebagai suatu ibadah yang disyariatkan.

Perkembangan tradisi Al Barzanji terkait erat dengan seremonial perayaan hari kelahiran (Maulid) Nabi yang juga masih menjadi kontroversi. Berdasar catatan Nico Captein, peneliti dari Universitas Leiden, Belanda dipaparkan bahwa perayaan Maulid Nabi pertama kali diselenggarakan oleh penguasa muslim Syi’ah dinasti Fatimiyah (909 - 117 M) di Mesir untuk menegaskan jika dinasti itu benar-benar keturunan Nabi. Bisa dibilang, ada nuansa politis dibalik perayaannya sehingga kurang direspon khalayak luas. Perayaan Maulid baru kembali mengemuka ketika tampuk pemerintahan Islam dipegang Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi pada 580 H/1184 M. Ia melangsungkan perayaan Maulid dengan mengadakan sayembara penulisan riwayat dan puji-pujian kepada Nabi SAW. Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat Jihad (perjuangan) dan Ittihad (persatuan) umat muslim terutama para tentara yang tengah bersiap menghadapi serangan lawan dalam medan pertempuran fenomenal, Perang Salib.
Dalam kompetisi ini, kitab berjudul Iqd al Jawahir (untaian permata) karya Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai pemenang. Sejak itulah Iqd al Jawahir mulai getol disosialisasikan pembacaanya ke seluruh penjuru dunia oleh salah seorang gubernur Salahudin yakni Abu Sa`id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak. Di Indonesia kitab ini populer dengan sebutan nama pengarangnya Al Barzanji sebab lidah orang kita agak sulit bila harus mengucapkan sesuai lafal judul aslinya.
Al Barjanji sendiri merupakan karya tulis berupa puisi yang terbagai atas 2 bagian yaitu Natsar dan Nazhom. Bagian natsar mencakup 19 sub-bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi ah pada tiap-tiap rima akhir. Keseluruhnya merunutkan kisah Nabi Muhammad SAW, mulai saat-saat menjelang Nabi dilahirkan hingga masa-masa tatkala beliau mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nazhom terdiri dari 16 subbagian berisi 205 untaian syair penghormatan, puji-pujian akan keteladanan ahlaq mulia Nabi SAW, dengan olahan rima akhir berbunyi nun.
Lalu bagaimanakah kondisi pro-kontra Al Barjanji? Pihak yang pro menganggap pembacaan Al Barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur Nabi, pemimpin agamanya sekaligus untuk senantiasa mengingatkan kita supaya meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan kepada Allah. Adapun pihak kontra memandang Barjanji hanyalah karya sastra yang walau mungkin mengambil inspirasi dari 2 sumber hukum haq Islam yakni Al Qur’an dan hadist tetap saja imajinasi fiktif sang pengarang lebih dominan disuguhkan. Namun faktanya pembacaan Barjanji di berbagai kesempatan malah jauh disakralkan, diutamakan ketimbang pembacaan Al Quran. Belum lagi pembacaan Barjanji sering tanpa diikuti pemahaman arti syair dalam tiap baitnya.
Wajarlah bila kemudian pihak kontra menghukumi pembacaan Barjanji juga bacaan sejenis lainya semisal Diba', Burdah, Simthuddurar itu Bid’ah atau mengada-ada dalam ibadah yang justru sangat jelas dilarang agama. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim menyatakan,”Barang siapa melakukan amalan tidak sebagaimana sunnahku,maka amalan itu tertolak”. Wallahu ‘alam bisshowab. Hanya Allahlah yang Maha Mengetahui.(Berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar